MENGAPA
DESA DESA
DISUMBANG
KEHILANGAN
JATIDIRI, KEARIFAN LOKAL, AURA
KEBANGGAAN
Jatidiri,
kearifan lokal,aura kebanggaan apa masih jadi milik desa yang penting pada saat ini ? pada saat semua desa dibangun dengan pola
yang sama, seragam, semua desa membuat laporan yang sama, maka sejatinya desa
sudah direduksi hanya menjadi institusi kepanjangan birokrasi pemerintah, bukan
menjadi desa otonom yang mempunyai otoritas untuk mengatur desanya sendiri,
kondisi nyata yang terlihat hampir disemua desa dikecamatan Sumbang adalah, desa jadi makin jauh dari masyarakatnya,
setiap tahun terus menerus membangun tetapi desa menjadi semakin miskin,tidak
berprestasi,ketinggalan dan tidak punya produk unggul yang mampu dibanggakan,
desa sudah hampir kehilangan segalanya, kecuali nama desa dan kebanggaan semu,
karena desa sudah kehilangan aura kebanggaan dari masyarakatnya, desa bergerak
dengan arah yang sudah tidak dikenali lagi oleh masyarakat yang ada
diwilayahnya.
Desa besar dengan luas sawah yang lebih
dari 70% luas desa, tetapi desa tidak punya produk unggul dari hasil komoditas
pertanian sawah, desa dengan luas tegalan (derik ) lebih dari 70% luas wilayah,
tetapi tidak punya produk unggul dari hasil tanaman tegalannya, sehingga desa
yang sawahnya luas, tegalannya luas, menjadi sama saja, dengan desa yang tidak
punya sawah atau tidak punya tegalan, kepriwe
kiye mas Lurah ?
Semua desa membiarkan para petani
sawah, dan petani tegalan bertarung sendiri, melawan alam, birokrasi, kartel perdagangan
komoditas,kartel pabrikan yang menyediakan bibit,pupuk dan obat2an, dunia
pertanian seolah menjadi dunia sendiri yang asing dari birokrasi desa, urusan
petani menjadi urusan intern petani, bukan urusan desa, desa tidak perlu tahu
apa yang ditanam petani,komoditas apa yang paling tepat ditanam didesanya,
apalagi nasib petani dan buruh tani, samasekali bukan urusan desa, bila masalah
ini dibiarkan tanpa ada solusi yang cerdas, pasti bencana besar akan melanda
semua desa, bila semua orang sudah tidak peduli pada alam, maka manusia tinggal
menghitung hari, kapan bencana besar akan menenggelamkan semua yang ada dibumi
ini.
Aura kebanggaan desa, coba kita
membuka memori lama, pada saat tahun 70 – 80 an, ketika desa Tambaksogra
memperingati HUT kemerdekaan RI, mereka secara luar biasa mampu menggerakan
semua lapisan masyarakat didesanya, untuk ikut baris kelokasi upacara bendera
dilapangan kecamatan Sumbang, dengan segala cara dan polahnya, berbaris dengan
bangga sebagai manusia Tambaksogra, itulah aura kebanggaan desa yang sekarang
sudah tidak kami temukan lagi, entah kapan akan ada lagi aura kebanggaan
seperti itu, mungkin itu semua hanya tinggal kenangan, yang tidak mungkin
terulang lagi.
Desa Banteran, dengan luas sawah
lebih dari 190 hektar, luas tegalan lebih dari 70 hektar, dengan PAD mencapai
Rp 300 juta/tahun, tetapi saat ini oleh Bapermas dimasukan jadi desa miskin,
tidak punya produk unggul dari hasil pertanian sawahnya, tidak punya produk
unggul dari tegalannya, sawah dan tegalan yang luas tidak mampu menjadi
penggerak ekonomi masyarakatnya yang lebih dari 65% adalah petani dan buruh
tani, malah justru buruh tani ini menjadi kelompok miskin terbesar didesa
Banteran, apa desa Banteran mau membiarkan kontradiksi ini terus berjalan, ini
menjadi salah satu bukti bahwa desa telah memilih pola pembangunan yang tidak
tepat, membangun dengan melupakan potensi dan kearifan lokal desanya.
Lurah Dakom, nek mbaranggawe plisire
pete, endhog kaya munthul, duwit sewu go cempal ceret, orang Sumbang pasti
masih banyak yang ingat kata-kata diatas, yang sangat terkenal pada saat desa
Gandatapa panen raya cengkeh, pada suatu waktu pada masa lalu. Dengan luas
tegalan dan sawah lebih dari 70% dari luas wilayah Gandatapa yang lebih dari 540
hektar, tetapi sekarang menjadi desa miskin, tidak ada produk unggul dari
tegalan Gandatapa, pete yang dulu mampu untuk membuat plisir, cengkeh yang dulu
jadi mascot kini sudah tidak ada lagi, bila masih ada satu dua bukan sesuatu
yang mampu dibanggakan, apalagi bila melihat situs sejarah masa lalu, demikian
banyak seperti situs Gandakesuma, Candi Ronggeng, Santri Mujung, Wangan gareng,
Curug Ceheng, Kali Pangkon, Gunung
Gerlipa,Gunung Gaber, semua itu menjadi modal dasar desa yang sampai saat ini
belum mampu di explor secara maksimal untuk mengatasi kemunduran dan
keterpurukan desa, malah hanya jadi ajang pertentangan kelompok atau mashab
agama tertentu, yang tentu saja bukan hal yang baik untuk kemajuan desa
Gandatapa.
Desa Datar, desa Kawungcarang, desa
dengan wilayah kecil, tetapi pada tahun 1930 an( jaman penjajahan Belanda ),
desa Kawungcarang dengan sumber airnya menjadi desa kaya, buktinya tanah yang
digunakan untuk membangun kecamatan Sumbang, yang membeli adalah desa
Kawungcarang,Karangcegak dan Tambaksari Lor, ini bukti pada saat itu
Kawungcarang menjadi desa makmur karena sumber airnya, desa Datar pada tahun 70
an, dikenal sebagai desa juragan, semua pedagang dari yang kecil sampai besar
ada, jadi pedagang apa saja, dari hasil bumi, kebutuhan rumah tangga, atau
kebutuhan petani, semua ada diDatar, walau lahan pertaniannya sempit tetapi
orang Datar akan berjalan dengan tegak, bukan sebagai petani tetapi sebagai
pedagang komoditas pertanian, ini adalah cara yang cerdas yang telah dilakukan
oleh pendahulu kita, bila lahan pertanian sempit jadilah pedagang yang mampu
menguasai hasil bumi seluruh wilayah Sumbang.
Ilustrasi diatas adalah gambaran umum
desa-desa diSumbang, belum ada satu desapun yang mampu menemukan jatidiri
desanya, merasa bangga untuk mendorong
potensi dan kearifan lokal menjadi landasan pola pembangunan desa mereka, mendorong kemajuan desa dengan dasar budaya
dan tradisi desanya. Hampir semua desa gagap dan bingung untuk menemukan
potensi dan keunggulan lokal desanya, dan hampir semua desa menyerah dengan
kondisi yang ada, menganggap bahwa desanya tidak bisa maju karena taqdir tuhan.
Apa sebetulnya yang menjadi faktor
utama, kemunduran desa-desa diSumbang, bahkan ada desa yang justru lebih maju
dan lebih makmur pada saat masih jaman
penjajahan Belanda, ini benar-benar suatu ironi yang sangat besar, tetapi nyata.
Bila ada desa yang lebih makmur pada jaman penjajahan, apa kita perlu menggugat
makna kemerdekaan yang telah kita dapatkan, itu mungkin yang mengilhami orang
untuk menulis “ Esih penak jamanku to “ dengan menampilkan gambar seorang tokoh
terkenal diIndonesia.
Faktor utama kemunduran desa,
menjadi sangat beragam, sangat bias dan hampir tidak mampu dikenali, ini karena
sudah berlangsung sekian puluh tahun, setiap periode pemerintahan mempunyai
cara sendiri untuk membangun desa, mungkin ada beberapa yang berhasil, tetapi
juga banyak desa yang gagal, tetapi yang pasti setiap desa mempunyai masa
kejayaan desanya pada periode tertentu dimasa lalu, artinya ada desa-desa
tertentu yang mampu berhasil membangun desanya dengan cara yang tepat pada masa
itu, ini sebetulnya akan menjadi study yang sangat menarik, yaitu mempelajari
kejayaan desa-desa diSumbang pada masa lalu, bila catatan ini bisa didata
secara benar, maka desa-desa dikecamatan Sumbang sekarang, bisa belajar
membangun desanya seperti pemerintah desa pada masa lalu, yang berhasil membawa
kemakmuran masyarakatnya.
Pola pembangunan yang seragam, hanya
mengutamakan pembangunan fisik, usulan pembangunan didekati dari wilayah yang
sempit ( RT & RW ), perencanaan pembangunan yang tidak tepat,pelaksana
pembangunan yang tidak memahami RPJM desanya, membangun tidak berdasarkan
potensi desa dan kearifan lokal,musdus dan musrenbang yang tidak menarik,
usulan begitu banyak, tapi yang mampu dibangun hanya sedikit, ini membuat
masyarakat apatis, pemerintah desa belum mampu belajar pada sejarah desanya
sendiri, karena sejarah desa hanya urut-urutan kepala desa yang tidak mampu
meng inspirasi apa-apa, situs dan artefak sejarah belum mampu diexplor untuk
menjadi keunggulan desa, kesatuan dan
persatuan masyarakat menjadi semakin renggang, karena beda afiliasi
politik,dukung mendukung calon kades, beda mashab agama, dan masih banyak lagi.
Bila begitu banyak faktor yang menyebabkan
kemunduran desa, apa yang seharusnya dilakukan oleh desa-desa dikecamatan
Sumbang ?.
Membangun
desa dengan dasar budaya.
Tiap desa harus berusaha tetap
istiqomah, terus berusaha mencari cara yang paling tepat, membangun desa dengan
dasar potensi dan kearifan lokal,menggali lagi sejarah desa dan kejayaan masa
lalu, mengembangkan pola pertanian yang ramah lingkungan, bersahabat dengan
alam,
Mulai membangun manusianya, menaikan
harkat petani dan buruh tani,mengembalikan lagi kesatuan dan persatuan
masyarakat, membangun kemandirian petani. Ini memang bukan cara yang mudah, perlu
wawasan dan cara pandang yang baru, pemberdayaan dan kemandirian menjadi inti
dari solusi mengatasi masalah desa-desa diSumbang.
Semoga semua desa mampu dengan
caranya, menemukan kembali kejayaan dan kemakmuran desanya, para pemimpin mampu
membawa perubahan yang positip dan mampu membawa desanya, menjadi desa yang
gemah ripah loh jinawi, toto titi tentrem kerto raharjo, kita semua bisa
memberi kontribusi walau sederhana, asal dilakukan dengan tulus, minimal bukan
menjadi bagian yang justru menjadi masalah dilingkungan, desa atau
kecamatannya sendiri ……. Amin.
Selasa,
24 Maret 2015
BKAD
SUMBANG.