| HOME | BERITA |

Minggu, 10 April 2016

KEHILANGAN JATIDIRI, KEARIFAN LOKAL, AURA KEBANGGAAN

MENGAPA
DESA DESA DISUMBANG
KEHILANGAN JATIDIRI,  KEARIFAN LOKAL, AURA KEBANGGAAN
        Jatidiri, kearifan lokal,aura kebanggaan apa masih jadi  milik desa yang penting pada saat ini ?   pada saat semua desa dibangun dengan pola yang sama, seragam, semua desa membuat laporan yang sama, maka sejatinya desa sudah direduksi hanya menjadi institusi kepanjangan birokrasi pemerintah, bukan menjadi desa otonom yang mempunyai otoritas untuk mengatur desanya sendiri, kondisi nyata yang terlihat hampir disemua desa dikecamatan Sumbang adalah,  desa jadi makin jauh dari masyarakatnya, setiap tahun terus menerus membangun tetapi desa menjadi semakin miskin,tidak berprestasi,ketinggalan dan tidak punya produk unggul yang mampu dibanggakan, desa sudah hampir kehilangan segalanya, kecuali nama desa dan kebanggaan semu, karena desa sudah kehilangan aura kebanggaan dari masyarakatnya, desa bergerak dengan arah yang sudah tidak dikenali lagi oleh masyarakat yang ada diwilayahnya.
        Desa besar dengan luas sawah yang lebih dari 70% luas desa, tetapi desa tidak punya produk unggul dari hasil komoditas pertanian sawah, desa dengan luas tegalan (derik ) lebih dari 70% luas wilayah, tetapi tidak punya produk unggul dari hasil tanaman tegalannya, sehingga desa yang sawahnya luas, tegalannya luas, menjadi sama saja, dengan desa yang tidak punya sawah atau tidak punya tegalan,   kepriwe kiye  mas Lurah ?
        Semua desa membiarkan para petani sawah, dan petani tegalan bertarung sendiri, melawan alam, birokrasi, kartel perdagangan komoditas,kartel pabrikan yang menyediakan bibit,pupuk dan obat2an, dunia pertanian seolah menjadi dunia sendiri yang asing dari birokrasi desa, urusan petani menjadi urusan intern petani, bukan urusan desa, desa tidak perlu tahu apa yang ditanam petani,komoditas apa yang paling tepat ditanam didesanya, apalagi nasib petani dan buruh tani, samasekali bukan urusan desa, bila masalah ini dibiarkan tanpa ada solusi yang cerdas, pasti bencana besar akan melanda semua desa, bila semua orang sudah tidak peduli pada alam, maka manusia tinggal menghitung hari, kapan bencana besar akan menenggelamkan semua yang ada dibumi ini.
           Aura kebanggaan desa, coba kita membuka memori lama, pada saat tahun 70 – 80 an, ketika desa Tambaksogra memperingati HUT kemerdekaan RI, mereka secara luar biasa mampu menggerakan semua lapisan masyarakat didesanya, untuk ikut baris kelokasi upacara bendera dilapangan kecamatan Sumbang, dengan segala cara dan polahnya, berbaris dengan bangga sebagai manusia Tambaksogra, itulah aura kebanggaan desa yang sekarang sudah tidak kami temukan lagi, entah kapan akan ada lagi aura kebanggaan seperti itu, mungkin itu semua hanya tinggal kenangan, yang tidak mungkin terulang lagi.
          Desa Banteran, dengan luas sawah lebih dari 190 hektar, luas tegalan lebih dari 70 hektar, dengan PAD mencapai Rp 300 juta/tahun, tetapi saat ini oleh Bapermas dimasukan jadi desa miskin, tidak punya produk unggul dari hasil pertanian sawahnya, tidak punya produk unggul dari tegalannya, sawah dan tegalan yang luas tidak mampu menjadi penggerak ekonomi masyarakatnya yang lebih dari 65% adalah petani dan buruh tani, malah justru buruh tani ini menjadi kelompok miskin terbesar didesa Banteran, apa desa Banteran mau membiarkan kontradiksi ini terus berjalan, ini menjadi salah satu bukti bahwa desa telah memilih pola pembangunan yang tidak tepat, membangun dengan melupakan potensi dan kearifan lokal desanya.
           Lurah Dakom, nek mbaranggawe plisire pete, endhog kaya munthul, duwit sewu go cempal ceret, orang Sumbang pasti masih banyak yang ingat kata-kata diatas, yang sangat terkenal pada saat desa Gandatapa panen raya cengkeh, pada suatu waktu pada masa lalu. Dengan luas tegalan dan sawah lebih dari 70% dari luas wilayah Gandatapa yang lebih dari 540 hektar, tetapi sekarang menjadi desa miskin, tidak ada produk unggul dari tegalan Gandatapa, pete yang dulu mampu untuk membuat plisir, cengkeh yang dulu jadi mascot kini sudah tidak ada lagi, bila masih ada satu dua bukan sesuatu yang mampu dibanggakan, apalagi bila melihat situs sejarah masa lalu, demikian banyak seperti situs Gandakesuma, Candi Ronggeng, Santri Mujung, Wangan gareng, Curug Ceheng, Kali Pangkon, Gunung Gerlipa,Gunung Gaber, semua itu menjadi modal dasar desa yang sampai saat ini belum mampu di explor secara maksimal untuk mengatasi kemunduran dan keterpurukan desa, malah hanya jadi ajang pertentangan kelompok atau mashab agama tertentu, yang tentu saja bukan hal yang baik untuk kemajuan desa Gandatapa.
         Desa Datar, desa Kawungcarang, desa dengan wilayah kecil, tetapi pada tahun 1930 an( jaman penjajahan Belanda ), desa Kawungcarang dengan sumber airnya menjadi desa kaya, buktinya tanah yang digunakan untuk membangun kecamatan Sumbang, yang membeli adalah desa Kawungcarang,Karangcegak dan Tambaksari Lor, ini bukti pada saat itu Kawungcarang menjadi desa makmur karena sumber airnya, desa Datar pada tahun 70 an, dikenal sebagai desa juragan, semua pedagang dari yang kecil sampai besar ada, jadi pedagang apa saja, dari hasil bumi, kebutuhan rumah tangga, atau kebutuhan petani, semua ada diDatar, walau lahan pertaniannya sempit tetapi orang Datar akan berjalan dengan tegak, bukan sebagai petani tetapi sebagai pedagang komoditas pertanian, ini adalah cara yang cerdas yang telah dilakukan oleh pendahulu kita, bila lahan pertanian sempit jadilah pedagang yang mampu menguasai hasil bumi seluruh wilayah Sumbang.
          Ilustrasi diatas adalah gambaran umum desa-desa diSumbang, belum ada satu desapun yang mampu menemukan jatidiri desanya,  merasa bangga untuk mendorong potensi dan kearifan lokal menjadi landasan pola pembangunan desa mereka,  mendorong kemajuan desa dengan dasar budaya dan tradisi desanya. Hampir semua desa gagap dan bingung untuk menemukan potensi dan keunggulan lokal desanya, dan hampir semua desa menyerah dengan kondisi yang ada, menganggap bahwa desanya tidak bisa maju karena taqdir tuhan.
         Apa sebetulnya yang menjadi faktor utama, kemunduran desa-desa diSumbang, bahkan ada desa yang justru lebih maju dan lebih makmur pada  saat masih jaman penjajahan Belanda, ini benar-benar suatu ironi yang sangat besar, tetapi nyata. Bila ada desa yang lebih makmur pada jaman penjajahan, apa kita perlu menggugat makna kemerdekaan yang telah kita dapatkan, itu mungkin yang mengilhami orang untuk menulis “ Esih penak jamanku to “ dengan menampilkan gambar seorang tokoh terkenal diIndonesia.
           Faktor utama kemunduran desa, menjadi sangat beragam, sangat bias dan hampir tidak mampu dikenali, ini karena sudah berlangsung sekian puluh tahun, setiap periode pemerintahan mempunyai cara sendiri untuk membangun desa, mungkin ada beberapa yang berhasil, tetapi juga banyak desa yang gagal, tetapi yang pasti setiap desa mempunyai masa kejayaan desanya pada periode tertentu dimasa lalu, artinya ada desa-desa tertentu yang mampu berhasil membangun desanya dengan cara yang tepat pada masa itu, ini sebetulnya akan menjadi study yang sangat menarik, yaitu mempelajari kejayaan desa-desa diSumbang pada masa lalu, bila catatan ini bisa didata secara benar, maka desa-desa dikecamatan Sumbang sekarang, bisa belajar membangun desanya seperti pemerintah desa pada masa lalu, yang berhasil membawa kemakmuran masyarakatnya.
          Pola pembangunan yang seragam, hanya mengutamakan pembangunan fisik, usulan pembangunan didekati dari wilayah yang sempit ( RT & RW ), perencanaan pembangunan yang tidak tepat,pelaksana pembangunan yang tidak memahami RPJM desanya, membangun tidak berdasarkan potensi desa dan kearifan lokal,musdus dan musrenbang yang tidak menarik, usulan begitu banyak, tapi yang mampu dibangun hanya sedikit, ini membuat masyarakat apatis, pemerintah desa belum mampu belajar pada sejarah desanya sendiri, karena sejarah desa hanya urut-urutan kepala desa yang tidak mampu meng inspirasi apa-apa, situs dan artefak sejarah belum mampu diexplor untuk menjadi keunggulan desa,  kesatuan dan persatuan masyarakat menjadi semakin renggang, karena beda afiliasi politik,dukung mendukung calon kades, beda mashab agama, dan masih banyak lagi.
           Bila begitu banyak faktor yang menyebabkan kemunduran desa, apa yang seharusnya dilakukan oleh desa-desa dikecamatan Sumbang ?.
Membangun desa dengan dasar budaya.
           Tiap desa harus berusaha tetap istiqomah, terus berusaha mencari cara yang paling tepat, membangun desa dengan dasar potensi dan kearifan lokal,menggali lagi sejarah desa dan kejayaan masa lalu, mengembangkan pola pertanian yang ramah lingkungan, bersahabat dengan alam, 
          Mulai membangun manusianya, menaikan harkat petani dan buruh tani,mengembalikan lagi kesatuan dan persatuan masyarakat, membangun kemandirian petani.  Ini memang bukan cara yang mudah, perlu wawasan dan cara pandang yang baru, pemberdayaan dan kemandirian menjadi inti dari solusi mengatasi masalah desa-desa diSumbang.
         Semoga semua desa mampu dengan caranya, menemukan kembali kejayaan dan kemakmuran desanya, para pemimpin mampu membawa perubahan yang positip dan mampu membawa desanya, menjadi desa yang gemah ripah loh jinawi, toto titi tentrem kerto raharjo, kita semua bisa memberi kontribusi walau sederhana, asal dilakukan dengan tulus, minimal bukan menjadi bagian yang justru menjadi masalah dilingkungan, desa atau kecamatannya  sendiri ……. Amin.
Selasa, 24 Maret 2015
BKAD SUMBANG.
Website Desa : http://tambaksogra.sumbangkec.banyumaskab.go.id